Teori relativitaspertama kali diungkapkan oleh Galileo Galilei dalam karyanya Dialogue concerning the World's Two Chief Systems pada tahun 1632.

Pada intinya teori relativitas adalah teori tentang medan yang melanjutkan perkembangan teori medan Faraday dan Maxwell. Teori medan menekankan kemulusan ruang dan waktu. Dalam teori relativitas, ruang dan waktu tidak melompat-lompat, tetapi mengalir secara malar (continue). Sebaliknya, teori kuantum, justru berbicara tentang ketidakmalaran (discontinue). Sebutir partikel tidak boleh mengubah energinya secara malar, melainkan melompat-lompat. Bisa dikatakan bahwa kedua pendekatan ini bertolak belakang.

Teori medan elektromagnetik Faraday yang kemudian dikembangkan oleh Maxwell  pada 1865, masih mengganggu para ilmuwan masa itu. Sumber gangguan tersebut adalah eter sebagai zat perantara gelombang elektromagnetik.

Eter sebagai medium rambat gelombang elektromagnetik mempunyai sifat yang sulit dibayangkan secara fisika meski secara matematis dapat dijelaskan secara gemilang. Semestinya eter bertabiat sebagai zat padat karena cahaya adalah gelombang transversal. Jenis gelombang ini tidak dapat meramat dalam medium fluida (gas atau cairan).

Berdasarkan pengamatan, eter sebegitu halus sampai-sampai tidak menghambat Bumi yang bergerak di dalamnya kendati sosoknya samar-samar, para ilmuwan menerima ide eter. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama fisika di penghujung abad ke-19 adalah menjernihkan pemahaman tentang eter sesuai persamaan Maxwell.

Dalam konteks persoalan ini, kecepatan cahaya c jadi perkara. Dalam teori Maxwell, c adalah kecepatan pengamat yang bergeming dalam eter.

Pada dasawarsa 1880-an Albert Abraham Michelson dan Edward Williams Morley menyelidiki ketergantungan kecepatan cahaya terhadap kecepatan pengamat.(Gerry, 2004)

Gagasan mereka adalah membandingkan kecepatan cahaya di dua arah yang berbeda, pada posisi siku-siku. Jika kecepatan cahaya bernilai tetap relatif terhadap eter, maka pengukuran seharusnya mengungkapkan kecepatan cahaya yang berbeda-beda, tergantung arah gerak cahaya. Tapi Michelson dan Moerley tak mendapat perbedaan.

Hasil percobaan Michelson-Morley jelas bertentangan dengan model gelombang elektromagnetik yang bergerak melalui eter, dan seharusnya model eter ditinggalkan. Namun tidak ada yang benar-benar berani menyimpulan bahwa eter tidak ada. (Stephen Hawking & Leonard Mlodinow, 2010)

Ahli fisika Belanda Hendrik Antoon Lorentz menawarkan penjelasan untuk penemuan Michelson dengan mengandaikan adanya seutas gaya antar-molekul yang bekerja searah dengan “hembusan eter”. Gaya ini, menurut Lotentz, secara fisik dapat memendekkan salah satu kaki alat pengukuran Michelson. Oleh karena itu kecepatan cahaya akan terukur sama ke semua arah terhadap angin eter, walaupun menurut Lorentz sebenarnya berbeda.

Walaupun demikian ternyata saran Lorentz masih melanggar mekanika Newton di beberapa hal. Poincare tahu persoalan itu tapi meyakini kebenaran anjuran Lorentz. Ia menekankan perlunya menuju kenisbian murni.

Dari sinilah awal lahirnya teori relativitas yang dipopulerkan oleh Albert Einstein. Einstein mengembangkan penyelesaian seperti yang diusulkan Poincare. Ia berangkat dengan dua asumsi yang bersahaja tapi jernih. Uraiannya menyelamatkan persamaan Maxwell, sementara pengertian Newton tentang ruang-waktu mutlak tersingkir. Walaupun demikian, pada kecepatan rendah, penyelesaian mendekati hasil hitung mekanika klasik Newton.